Minggu, 10 Mei 2015

Pemikiran Filsafat Santo Agustinus

BAB I
1. Pendahuluan


1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sejarah karena manusia berada dalam sejarah sebagai pelaku sejarah. Sebagai makhluk yang memiliki sejarah, ada saat dimana manusia mempertanyakan sejarahnya. Misalnya saja para filsuf Yunani awal yang mempertanyakan sejarah terbentuknya dunia, makhluk hidup dan sebagainya. Hal semacam itu disebut dengan historisitas.
       Kesadaran manusia terhadap sejarah sudah dimulai sejak manusia mempertanyakan sejarah itu sendiri, dimulai pada Yunani Kuno atau bahkan sebelum periode Yunani Kuno manusia sudah mempertanyakan sejarahnya. Pemahaman manusia akan sejarah bisa dipengaruhi oleh keadaan atau situasi sejarah pada masanya. Masa Yunani Kuno seperti Herodotus mulai mengesampingkan mitos-mitos dalam penulisan sejarah.
       Melalui kesadaran sejarah tersebut manusia bisa memahami atau bahkan merumuskan gerak sejarah sesuai dengan interpretasinya. Pada abad pertengahan misalnya, dimana kuasa gereja sangat besar turut mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan yang tidak kalah penting adalah filsafat. Beberapa tokoh agama berupaya memberikan interpretasinya terhadap sejarah melalui sudut pandang teologis.
       Pada makalah ini penulis ingin mengulas tentang padangan filsafat sejarah spekulatif yang dikemukakan oleh Santo Augustine dengan judul “Pemikiran Filsafat Santo Agustinus”. Penulis akan mengulas mengenai latar belakang pemikiran Santo Augustine, pandangan manusia dalam sejarah, serta gerak sejarah menurut Santo Augustine.

BAB II
2. PEMBAHASAN

2.1 Biografi Santo Agustinus

Agustinus dilahirkan pada tanggal 13 November 354 di Tagaste, Algeria, Afrika Utara. Ayahnya bernama Patrisius, seorang kafir. Ibunya ialah St. Monika, seorang Kristen yang saleh. St. Monika mendidik ketiga putera-puterinya dalam iman Kristen. Namun demikian, menginjak dewasa Agustinus mulai berontak dan hidup liar. Pernah suatu ketika ia dan teman-temannya yang tergabung dalam kelompok “7 Penantang Tagaste” mencuri buah-buah pir yang siap dipanen milik Pak Tallus, seorang petani miskin, untuk dilemparkan kepada babi-babi.

Pada umur 29 tahun Agustinus dan Alypius, sahabatnya, pergi ke Italia. Agustinus menjadi mahaguru terkenal di Milan. Sementara itu, hatinya merasa gelisah. Sama seperti kebanyakan dari kita di jaman sekarang, ia mencari-cari sesuatu dalam berbagai aliran kepercayaan untuk mengisi kekosongan jiwanya. Sembilan tahun lamanya Agustinus menganut aliran Manikisme, yaitu bidaah yang menolak Allah dan mengutamakan rasionalisme. Tetapi tanpa kehadiran Tuhan dalam hidupnya, jiwanya itu tetap kosong. Semua buku-buku ilmu pengetahuan telah dibacanya, tapi ia tidak menemukan kebenaran dan ketentraman jiwa.

Sejak awal tak bosan-bosannya ibunya menyarankan kepada Agustinus untuk membaca Kitab Suci di mana dapat ditemukan lebih banyak kebijaksanaan dan kebenaran daripada dalam ilmu pengetahuan. Tetapi, Agustinus meremehkan nasehat ibunya. Kitab Suci dianggapnya terlalu sederhana dan tidak akan menambah pengetahuannya sedikit pun.

Pada usia 31 tahun Agustinus mulai tergerak hatinya untuk kembali kepada Tuhan berkat doa-doa ibunya serta berkat ajaran St. Ambrosius, Uskup kota Milan. Namun demikian ia belum bersedia dibaptis karena belum siap untuk mengubah sikap hidupnya. Suatu hari, ia mendengar tentang dua orang yang serta-merta bertobat setelah membaca riwayat hidup St. Antonius Pertapa. Agustinus merasa malu. “Apa ini yang kita lakukan?” teriaknya kepada Alypius. “Orang-orang yang tak terpelajar memilih surga dengan berani. Tetapi kita, dengan segala ilmu pengetahuan kita, demikian pengecut sehingga terus hidup bergelimang dosa!” Dengan hati yang sedih, Agustinus pergi ke taman dan berdoa, “Berapa lama lagi, ya Tuhan? Mengapa aku tidak mengakhiri perbuatan dosaku sekarang?” Sekonyong-konyong ia mendengar seorang anak menyanyi, “Ambillah dan bacalah!” Agustinus mengambil Kitab Suci dan membukanya tepat pada ayat, “Marilah kita hidup dengan sopan seperti pada siang hari… kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” (Roma 13:13-14). Ini dia! Sejak saat itu, Agustinus memulai hidup baru.

Pada tanggal 24 April 387 Agustinus dipermandikan oleh Uskup Ambrosius. Ia memutuskan untuk mengabdikan diri pada Tuhan dan dengan beberapa teman dan saudara hidup bersama dalam doa dan meditasi. Pada tahun 388, setelah ibunya wafat, Agustinus tiba kembali di Afrika. Ia menjual segala harta miliknya dan membagi-bagikannya kepada mereka yang miskin papa. Ia sendiri mendirikan sebuah komunitas religius. Atas desakan Uskup Valerius dan umat, maka Agustinus bersedia menjadi imam. Empat tahun kemudian Agutinus diangkat menjadi Uskup kota Hippo.

Semasa hidupnya Agustinus adalah seorang pengkhotbah yang ulung. Banyak orang tak percaya kembali ke gereja Katolik sementara orang-orang Katolik semakin diperteguh imannya. Agustinus menulis surat-surat, khotbah-khotbah serta buku-buku dan mendirikan biara di Hippo untuk mendidik biarawan-biarawan agar dapat mewartakan injil ke daerah-daerah lain, bahkan ke luar negeri. Gereja Katolik di Afrika mulai tumbuh dan berkembang pesat.

Di dinding kamarnya, terdapat kalimat berikut yang ditulis dengan huruf-huruf yang besar: “Di sini kami tidak membicarakan yang buruk tentang siapa pun.” “Terlambat aku mencintai-Mu, Tuhan,” serunya kepada Tuhan suatu ketika. Agustinus menghabiskan sisa hidupnya untuk mencintai Tuhan dan membawa orang-orang lain untuk juga mencintai-Nya.

Agustinus wafat pada tanggal 28 Agustus 430 di Hippo dalam usia 76 tahun. Makamnya terletak di Basilik Santo Petrus. Kumpulan surat, khotbah serta tulisan-tulisannya adalah warisan Gereja yang amat berharga. Di antara ratusan buku karangannya, yang paling terkenal ialah   “Pengakuan-Pengakuan” (di Indonesia diterbitkan bersama oleh Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia) dan “Kota Tuhan”. Santo Agustinus dikenang sebagai Uskup dan Pujangga Gereja serta dijadikan Santo pelindung para seminaris. Pestanya dirayakan setiap tanggal 28 Agustus.


2.2 Pemikiran Santo Agustinus


2.2.1 Dasar Etika Agustinus

Dasar etika Agustinus adalah etika yang menekankan pentingnya kehendak bebas dan anugerah Allah sebagai dasar perbuatan etis manusia. Menurut Agustinus, Allah mengetahui segala hal sebelum manusia bertindak. Namun, hal itu bukan berarti segala sesuatu telah terjadi menurut takdirnya (takdir merupakan bentuk penolakan dari kamauan kehendak bebas). Allah memang berkuasa, namun Allah tetap memperbolehkan manusia untuk berkehendak.
Manusia tetap mempunyai kuasa untuk berkehendak bebas sama seperti Tuhan yang juga mempunyai kuasa dan kehendak. Agustinus menyebutkan dua buah kehendak, yaitu kehendak bebas Allah dan kehendak bebas manusia. Perbedaannya, kehendak manusia seringkali digunakan dengan cara yang salah, seperti melontarkan kata-kata kotor, kelancangan, dan fitnah.
Tidak ada kejahatan di luar keinginan. Allah sang pencipta menciptakan semuanya dengan baik. Agustinus menolak segala bentuk teologi dualisme metafisik. Allah sendiri yang menjadi sumber seluruh keberadaan dan segala sesuatu yang baik. Menurut Agustinus, hal-hal yang jahat bukan diciptakan Allah. Menurut Agustinus kejahatan ditemukan dalam keinginan ciptaan yang memiliki akal budi. Dalam melakukan kejahatan setiap orang dibebaskan dari keadilan dan menjadi hamba dosa. Namun, tidak ada seorangpun yang bisa bebas dari dosa dengan melakukan hal-hal yang baik. Seseorang hanya dapat dibebaskan dan lepas dari yang jahat hanya melalui anugerah Allah.Tanpa anugerah Allah, perbuatan baik yang mereka lakukan tidak ada artinya. Allah sendiri yang bekerja dalam diri manusia. Allah yang memberi kesadaran kepada manusia mengapa manusia harus berbuat baik dan tidak berbuat jahat.
Pandangan Agustinus mengenai kehendak bebas dan anugerah ini dipengaruhi oleh pengalaman masa mudanya. Pada masa mudanya ia telah melukai hati ibunya dan hidup bersama dengan seorang perempuan yang tidak pernah dinikahinya. Ia merasa berkali-kali jatuh ke dalam dosa. Ia baru merasakan bebas dari hal-hal yang jahat setelah ia menerima anugerah Allah melalui pertobatannya.


2.2.2 Damai dan Keadilan
Menurut Agustinus, kedamaian adalah tujuan universal seluruh umat manusia. Bahkan secara ekstrem dapat dikatakan bahwa kedamaian adalah tujuan dari perang, karena hakikat dasar dari kemenangan dalam perang adalah membawa manusia ke dalam kemuliaan dan kedamaian. Namun, hal itu hanya merupakan bentuk pencarian kedamaian bagi diri sendiri atau kelompok tertentu saja. Menurut Agustinus, yang merupakan norma moral bukanlah kedamaian seperti di atas, melainkan kedamaian yang dihubungkan dengan keadilan. Kedamaian yang seperti ini hanya berasal dari Allah. Keadilan yang terdapat dalam diri manusia bersumber dari Allah.
Namun, Agustinus bukanlah orang yang pasivis (anti perang). Ia mengatakan bahwa perang diperbolehkan hanya sebagai jalan terakhir. Perang diperbolehkan ketika bertahan terhadap serangan lawan dan melawan bidaah. Motivasi dalam berperang itu pun harus berlandaskan cinta kasih, belas kasih dan ketenangan. Agustinus mengatakan bahwa perang boleh dilakukan atas otoritas seorang raja berdasarkan kepentingan rakyat. Perang baginya merupakan suatu pengecualian dalam hal moral karena pembenaran dari perang tersebut hanya terdapat dari sang penyerang bukan dari yang diserang.

2.2.3 Seksualitas Manusia
Pengajaran Agustinus tentang seksualitas dipengaruhi pengalaman hidupnya. Menurut Agustinus, manusia perlu mengendalikan nafsu seksnya. Agustinus sendiri telah merasakan bagaimana menahan nafsunya, saat ia memutuskan untuk bertobat. Ia tidak mengatakan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang tidak bermoral. Namun ia mengutuk hubungan seksual untuk tujuan apapun selain prokreasi. Ia menolak hubungan seksual di luar masa subur. Menuruti nafsu seksual dianggap sebagai pemberontakan terhadap Allah.

2.2.4 Pandangan Agustinus terhadap Kekayaan

Menurut Agustinus, kekayaan bukanlah kejahatan. Kekayaan juga merupakan ciptaan Allah yang baik adanya. Namun, manusia -dengan kehendaknya- menyalahgunakan kekayaan tersebut. Beberapa orang bahkan ada yang menyembah Allah hanya untuk mendapatkan kekayaan. Padahal seharusnya kekayaan itu yang dipergunakan untuk memuliakan Allah.


BAB III
3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Filsafat pada masa abad pertengahan itu lebih banyak teradopsi oleh dogma-dogma gereja yang kuat. Karena pada masa ini peran gereja melebihi batas kemampuan manusia. Geraja mempunyai wewenang kuat dalam mengatur kehidupan manusia. Salah satu tokoh yang ikut berkontribusi adalah Santo Augustine. Santo Augustine merupakan salah satu diantara banyak bapak gereja. Dan filsafat yang berkembang adalah Filsafat Gereja.
       Santo Agustine dalam melihat Produk dari Filsafat yang diterapkan di geraja itu lebih kepada ajaran Tuhan dan manusia. Adanya manusia diharapkan bisa berpikir dan memahami Tuhan melalui pertanda yang sudah ada. Ini dilakukan untuk menambah keyakinan atas kebenaran yang sudah ada. Awalnya manusia menurut Agustinus itu merupakan makhluk yang sifatnya pasif (diam) dan tidak bergerak. Lalu manusia setelahnya diharapkan bisa membenarkan ajaran/dogma gereja yang sudah didapat. Ini melalui tahapan kebenaran.
       Sedangkan dalam hal spekulatif menurut pandangan Santo Augustine terhadap gerak sejarah yang diterapkan adalah Augustinus tidak mempercayai bahwa sejarah adalah suatu siklus. Sejarah lebih dari itu, ia merupakan kejadian yang diatur oleh Tuhan. Jadi, sejarah sebenarnya mempunyai suatu permulaan dan mempunyai akhir. Permulaannya adalah saat kejatuhan manusia, dan akhirnya ialah kemenangan Tuhan mengatasi kejahatan. Filsafat sejarah seperti ini adalah filsafat sejarah yang dibimbing oleh teologi. 



Referensi:
id.wikipedia.org/
perahoffb2011.blogspot.com/

1 komentar:

  1. Mohon dukungan doa untuk saya sudah 5 tahun sakit stroke dan insomnia. Terima kasih. Melchior Suroso

    BalasHapus